History of Islamic - Menahan diri dari syahwat makanan, minuman dan juga syahwat biologis merupakan perkara yang berat alias tidak mudah. Oleh karena itu, Allah Ta’ala baru memerintahkan kewajiban berpuasa Ramadhan pada tahun ke dua setelah hijrah ke Madinah [1].
Allah Ta’ala mewajibkan puasa melalui beberapa tahap, yaitu tahap mewajibkan puasa ‘Asyura. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa ‘Asyura (tanggal 10 Muharram).
Tahap Diwajibkannya Puasa Ramadhan
Tahap selanjutnya Allah Ta’ala mewajibkan puasa Ramadhan dengan memilih antara melaksanakan puasa atau membayar fidyah. [2]
‘Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
“Dulu, orang-orang Quraisy berpuasa di hari ‘Asyura di masa jahiliyyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpuasa di hari tersebut (di masa jahiliyyah). Ketika beliau tiba di Madinah, beliau mengerjakan puasa ‘Asyura dan memerintahkan kepada para sahabat untuk berpuasa.
Ketika puasa Ramadhan diwajibkan, Rasulullah meninggalkan puasa ‘Asyura. Barangsiapa yang ingin berpuasa, maka dia mengerjakannya. Dan barangsiapa yang tidak ingin berpuasa, maka mereka meninggalkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim) [3]
Ketika hati dan keimanan para sahabat radhiyallahu ‘anhum telah menancap kuat, maka Allah Ta’ala mewajibkan puasa Ramadhan secara bertahap. Pada tahap ke dua ini, mereka boleh memilih antara berpuasa atau membayar fidyah, meskipun lebih ditekankan dan dianjurkan untuk berpuasa. Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak ingin berpuasa dan memilih membayar fidyah (meskipun mereka sebetulnya mampu berpuasa), maka dipersilakan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 184)
Tahap Diwajibkan Puasa Bagi yang Mampu
Allah Ta’ala kemudian menurunkan ayat berikutnya untuk menghapus ketentuan hukum ayat di atas. Hal ini diberitakan oleh dua sahabat yang mulia, yaitu ‘Abdullah bin Umar dan Salamah bin Akwa’ radhiyallahu ‘anhuma,
“Ayat tersebut (surat Al-Baqarah ayat 184) dihapus (hukumnya) oleh ayat berikut ini,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185) [4]
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan bahwa kandungan surat Al-Baqarah ayat 184 di atas tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua renta serta orang sakit yang tidak dapat diharapkan lagi kesembuhannya. Bagi kedua golongan tersebut, boleh tidak berpuasa dan menggantinya dengan membayar fidyah. Sehingga ketentuan ayat tersebut (tentang pilihan untuk berpuasa atau membayar fidyah) hanya dihapus untuk orang yang mampu berpuasa.
Dari Atho’ radhiyallahu ‘anhu, dia mendengar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma membaca surat Al-Baqarah ayat 184 kemudian berkata,
لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ هُوَ الشَّيْخُ الكَبِيرُ، وَالمَرْأَةُ الكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا، فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
”Ayat ini tidak dimansukh (dihapus hukumnya, pent). Ayat ini tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua yang tidak mampu untuk berpuasa. Keduanya wajib memberi makan bagi orang miskin setiap hari yang dia tidak berpuasa”. (HR. Bukhari no. 4505)
Pada awalnya, waktu berbuka adalah dari tenggelam matahari sampai tertidur di malam hari. Jika sudah tidur, maka waktu berbuka sudah habis, meskipun masih malam (belum terbit fajar) dan meskipun mereka belum menyantap makanan. Hal ini sebagaimana hadits berikut ini,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا، فَحَضَرَ الإِفْطَارُ، فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا، فَلَمَّا حَضَرَ الإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ، فَقَالَ لَهَا: أَعِنْدَكِ طَعَامٌ؟ قَالَتْ: لاَ وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ، وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ، فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ، فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ، فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ: خَيْبَةً لَكَ، فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} [البقرة: 187] فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا، وَنَزَلَتْ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ} [البقرة: 187]
“Dahulu jika sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan tiba waktu berbuka, dan mereka tidur sebelum berbuka puasa, maka tidak boleh makan di waktu malam dan siang hari (berikutnya) sampai sore hari lagi. Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa, dan ketika tiba waktu berbuka dia mendatangi istrinya dan bertanya,’Apakah ada makanan?’
Istrinya menjawab,’Tidak, namun aku akan pergi mencarikan makanan untukmu.’ Pada hari itu, Qais bekerja seharian sehingga dia pun tertidur (ketika menunggu istrinya mencari makanan, pen.).
Ketika istrinya tiba kembali dan melihat Qais tertidur, istrinya berkata,’Khaibah [5] untukmu.’
Di siang harinya Qais pun terbangun dan menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu turunlah ayat (yang artinya),”Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa untuk berhubungan badan dengan istrimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)
Ketika istrinya tiba kembali dan melihat Qais tertidur, istrinya berkata,’Khaibah [5] untukmu.’
Di siang harinya Qais pun terbangun dan menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu turunlah ayat (yang artinya),”Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa untuk berhubungan badan dengan istrimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)
Para sahabat pun sangat gembira, lalu turunlah ayat (yang artinya),”Dan makan minumlah sehingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)” (HR. Bukhari no. 1915)
Sehingga berdasarkan ayat tersebut, waktu berbuka adalah dari tenggelam matahari sampai terbit waktu fajar. Demikianlah kasih sayang dan keluasan rahmat Allah Ta’ala yang dicurahkan kepada hamba-hambaNya.
Sehingga berdasarkan ayat tersebut, waktu berbuka adalah dari tenggelam matahari sampai terbit waktu fajar. Demikianlah kasih sayang dan keluasan rahmat Allah Ta’ala yang dicurahkan kepada hamba-hambaNya.
No comments:
Post a Comment