History of Islamic - Istiqamah di atas tauhid, bukanlah pekerjaan yang ringan, lebih-lebih di zaman yang penuh dengan kerusakan seperti sekarang ini. Bahaya kesyirikan di zaman ini sangatlah hebat. Kita masih ingat sepuluh tahun yang lalu, Allah Ta'ala menguji kaum muslimin dengan batu (Ponari), dan terbukti sudah banyaknya kaum muslimin (terutama yang sedang sakit) yang tidak lulus mengikuti ujian tersebut. Dan kita tidak tahu, ujian apa lagi yang akan Allah Ta'ala turunkan pada masa yang akan datang untuk menguji kejujuran iman kita.
Oleh karena itulah, kita hedaknya senantiasa memohon kepada Allah Ta'ala agar Allah Ta'ala senantiasa meneguhkan kita di atas agamanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan doa kepada kita,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
"Wahai Dzat Yang membolak-balik hati, tegarkanlah hatiku di atas agama-Mu"(HR. Tirmidzi no. 2290, 3864 dan 3936. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha'if Sunan Tirmidzi no. 2140)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
"Ya Allah, Yang membolak-balik hati, palingkanlah hati kami menuju ketaatan kepada-Mu"(HR. Muslim no.6921)
Janganlah hati kita merasa aman dari bahaya kesyirikan, meskipun kita seorang cendekiawan, seorang akademisi, atau seorang profesor. Karena bisa jadi hari ini kita beriman, tetapi esok hari kita sudah menjadi orang kafir. Bahkan, bisa jadi pagi ini kita masih beriman, namum sore nanti kita sudah menjadi orang kafir karena sangat dahsyatnya godaan yang ada di sekeliling kita. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
"Segerlah beramal sebelum datangnya fitnah-fitnah, seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Seseorang paginya beriman, namun sorenya menjadi kafir. Atau seseorang yang sorenya masih beriman, namun paginya telah kafir. Dia menjual agamnya dengan tujuan-tujuan dunia"(HR. Muslim no. 328)
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits ini,
معنى الحديث الحث على المبادرة إلى الأعمال الصالحة قبل تعذرها والاشتغال عنها بما يحدث من الفتن الشاغلة المتكاثرة المتراكمة كتراكم ظلام الليل المظلم لا المقمر ووصف صلى الله عليه وسلم نوعا من شدائد تلك الفتن وهو أنه يمسي مؤمنا ثم يصبح كافرا أو عكسه شك الراوي وهذا لعظم الفتن ينقلب الإنسان في اليوم الواحد هذا الانقلاب والله أعلم
"Makna hadits ini adalah motivasi untuk segera beramal shalih sebelum mustahil beramal atau kita disibukkan oleh perkara yang lain, berupa berbagai masalah atau kita disibukkan oleh perkara yang lain, berupa berbagai masalah yang menyibukkan, banyak, dan bertumpuk-tumpuk sebagaimana bertumpuk-tumpuk kegelapan malam jika tanpa diterangi sinar rembulan. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendeskripsikan dahyatnya bahaya tersebut, sehingga seseorang yang sorenya masih beriman, namun esok paginya sudah kafir,, atau sebaliknya. (Perawi ragu-ragu terhadap hal ini.) Hal ini terjadi karena dahsyatnya bahaya yang ada, sehingga hati manusia bisa berubah dalam sehari saja"(Syarh Shahih Muslim, 1/232)
Untuk membentengi diri kita dari bahaya-bahaya tersebut, maka tentu kita harus belajar tentang tauhid dan cabang ilmu agama yang lain. Apalagi, kesyirikan dalam perbuatan dosa yang sangat samar dan tersembunyi. Bisa jadi kita telah terjerumus ke dalam perbuatan syirik tanpa kita sadari karena kebodohan kita sendiri. Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan,
الأنداد هو الشرك، أخفى من دبيب النمل على صَفَاة سوداء في ظلمة الليل
"(Menjadikan) 'andaad' [sekutu-sekutu] adalah berbuat syirik, (dosa) yang lebih samar daripada jejak semut yang merayap di atas batu hitam dalam kegelapan malam" (Tafsir Ibnu Katsir,1/196)
Oleh karena itulah, kebutuhan kita terhadap ilmu tauhid sebenarnya jauh melebihi kebutuhan kita terhadap makanan dan minuman. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah,
"Kebutuhan manusia terhadap ilmu agama itu melebihi kebutuhannya terhadap makanan dan minuman. Yang demikian itu karena seseorang membutuhkan makanan dan minuman sekali atau dua kali (dalam sehari). Adapaun kebutuhannya terhadap ilmu (agama) itu sebanyak tarikan nafasnya" (Kaifa Tatahammasu li Thalabil "Ilmi Syar'i, hal. 42)